Ketika Alam Tak Lagi Diam, Kita Sedang Menuai Murka dari Rumah yang Kita Rusak

Penulis: Jhon Kenedy

Di tengah deru pembangunan dan ambisi manusia yang seolah tak punya rem, alam akhirnya memilih bicara dengan cara yang paling tegas: amarahnya. Banjir bandang yang datang tanpa permisi, cuaca ekstrem yang makin tak bisa ditebak, hingga kebakaran hutan yang menghanguskan harapan semuanya seperti tamparan keras bahwa kita bukan penguasa tunggal di bumi ini.

Ironisnya, kita sering menyebut bencana sebagai “musibah”. Padahal banyak dari itu bukan musibah, melainkan balasan dari keserakahan kita sendiri. Hutan ditebang lebih cepat dari kemampuan bumi memperbaikinya. 

Sungai-sungai dijadikan tempat pembuangan, seolah air kotor itu tak akan berbalik menghantam kita. Gunung dikeruk, tanah dieksploitasi, langit dipenuhi asap, dan kita masih bertanya-tanya kenapa alam seperti sedang murka?

Alam tidak pernah ingkar janji. Ia memberi ketika dirawat, dan ia menghukum ketika dikhianati. Kini, suhu kian panas, hujan kian brutal, dan bencana datang silih berganti. Itu bukan kutukan, itu konsekuensi. Alam sedang menagih pertanggungjawaban kita.

Kita mungkin merasa memiliki teknologi, undang-undang, dan kekuasaan. Tapi sesungguhnya, kita hanyalah tamu di rumah alam. Dan setiap tamu yang merusak, cepat atau lambat akan diusir.

Pertanyaannya, sampai kapan kita menutup mata? Sampai bencana lebih besar datang dan menggulung semuanya? Atau kita mau mulai menghentikan permainan berbahaya ini sebelum rumah kita benar-benar runtuh?

Karena pada akhirnya, alam bukan sekadar murka. Ia sedang mengajarkan bahwa kesombongan manusia adalah bencana terbesar di muka bumi.()
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال