INDONESIA kembali berada di persimpangan jalan. Derita rakyat yang terus terhimpit, sumber daya alam yang kian terkuras, hingga kebijakan yang seringkali tak berpihak pada kepentingan bersama, membuat “Ibu Pertiwi” seakan meneteskan air mata.
Tangisan itu bukan sekadar kiasan, melainkan cerminan dari luka yang dirasakan bangsa ini.
Dari pelosok desa hingga kota-kota besar, suara keluhan terdengar sama, yakni harga kebutuhan pokok semakin melambung, lapangan kerja semakin sempit, dan ketidakpastian masa depan menghantui generasi muda.
Sementara itu, isu korupsi serta ketidakadilan terus menjadi berita harian. Kondisi ini mempertegas bahwa ada sesuatu yang salah dalam arah perjalanan bangsa.
Ibu Pertiwi menangis karena hutan yang dulu hijau kini berganti menjadi lahan-lahan industri. Ia berduka karena anak-anak bangsa masih kesulitan mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak. Ia terluka karena suara rakyat kerap diabaikan, bahkan ditekan ketika menyuarakan kebenaran.
Namun, tangisan Ibu Pertiwi sejatinya adalah panggilan. Panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk bangkit, bersatu, dan kembali pada cita-cita luhur pendiri negeri.
Kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, melainkan juga tentang keadilan, kesejahteraan, dan keberanian menjaga martabat bangsa.
Suara hati yang terluka ini semestinya menjadi cambuk, bukan sekadar ratapan. Indonesia masih punya peluang untuk bangkit, selama bangsa ini tidak membiarkan air mata itu terus mengalir sia-sia.()
Tags
Opini