Di Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, berdiri sebuah rumah adat bersejarah yang dikenal dengan nama Lewu Hante.
Bagi masyarakat Dayak Ma’anyan, Lewu Hante bukan sekadar bangunan, melainkan simbol kebersamaan, warisan leluhur, sekaligus pusat kegiatan adat.
Secara harfiah, Lewu Hante berarti rumah besar atau rumah panjang. Dahulu, bangunan ini menjadi tempat tinggal bersama bagi puluhan keluarga, sekaligus pusat musyawarah, ritual, dan kegiatan masyarakat.
Seiring waktu, fungsi Lewu Hante bertransformasi, namun nilai budaya dan historisnya tetap terjaga.
Salah satu Lewu Hante yang masih terjaga hingga kini berada di Desa Telang. Bangunan ini dulunya merupakan kediaman Soeta Ono, seorang tokoh adat sekaligus distriktshoofd (kepala distrik) pada masa kolonial Belanda.
Soeta Ono dikenal sebagai keturunan terakhir dari Raja Nansarunai dan dihormati masyarakat Dayak Ma’anyan sebagai pemimpin yang bijaksana. Ia lahir sekitar tahun 1822 dan wafat pada 27 April 1894.
Makamnya yang dikenal sebagai Tamak Mas masih dapat dijumpai di kompleks belakang Lewu Hante.
Setelah melalui proses renovasi, Lewu Hante kini difungsikan sebagai balai pertemuan, ruang kegiatan adat, sekaligus destinasi wisata sejarah dan budaya.
Kawasan di sekitarnya juga dikembangkan menjadi taman rekreasi yang kerap menjadi lokasi kegiatan masyarakat, termasuk festival budaya Dayak Ma’anyan.
Bagi wisatawan, berkunjung ke Lewu Hante bukan hanya melihat bangunan rumah panjang dari kayu ulin, tetapi juga menapaktilasi jejak sejarah Soeta Ono serta mengenal filosofi hidup masyarakat Dayak Ma’anyan yang menjunjung tinggi kebersamaan, keharmonisan dengan alam, dan penghormatan terhadap leluhur.
Lewu Hante Paju Epat kini menjadi ikon budaya sekaligus aset sejarah yang terus dijaga oleh masyarakat setempat.
Keberadaannya tidak hanya memperkuat identitas Dayak Ma’anyan, tetapi juga menjadi sarana edukasi bagi generasi muda untuk mencintai dan melestarikan warisan leluhur.(***)
Tags
Humaniora